mudah jatuh cinta, kok bisa

Sekilas, gampang jatuh cinta terkesan bukan sikap yang baik. Gimana nggak, gonta-ganti sosok pujaan sudah kayak ganti kaus kaki saja—saking seringnya! Nggak heran kalau orang lain menganggap pelaku sebagai playgirl yang doyan berburu cowok.


Belum lagi kalau target jatuh cinta si pelaku masih berada di lingkungan yang sama dengan mantan sebelumnya—misalnya satu fakultas atau kantor. Yang ada, si pelaku malah dicap ‘piala bergilir’ di lingkungan tersebut.
Gampang jatuh cinta ternyata juga bikin pelaku jadi lengah dan mudah terperdaya. Sosok gebetan yang dikira baik (karena memperlakukannya bak ratu) ternyata sebenarnya nggak lebih dari buaya darat yang suka memanfaatkan cewek. Males banget, kan….
Tapi, gampang jatuh cinta nggak selulu buruk, kok. Dibandingkan bertahan dengan sosok ‘itu-itu’ saja—padahal sudah nggak sreg—pelaku justru bisa menemukan sosok terbaik (atau setidaknya klop dengan keinginannya) lewat ‘hobi’ tersebut.
Asyiknya lagi, orang yang gampang jatuh cinta nggak perlu lama-lama berkubang dalam pahitnya patah hati. Abis, baru sebentar ‘kosong’, sudah ada sosok lain yang merebut hati dan pikiran mereka.
Kontrol, Dong…
Meski jatuh cinta bukan sifat negative, bukan berarti nggak perlu dikontrol. Sebelum memutuskan menjadikan si target sebagai pacar, misalnya, tetap saja harus ada proses selektif. Maksudnya, biar kita nggak menyesal nantinya.
Pilih dengan pertimbangan matang, bukan hanya emosi sesaat. Beri waktu untuk berpikir, jangan asal memutuskan. Ya iyalah… waktu membeli buah di supermarket aja kita pilah-pilah dengan teliti, masa pas nyari pasangan malah asal. Lagipula sesuatu yang terlalu gampang—dan cepat—biasanya nggak bakal berkesan, tuh.